27 April 2010

BAD TASTE ( 1987 )

REVIEWED BY 'R'.

'Bad Taste' itu model film yang proses produksinya terlaksana setelah terjadi serangkaian dialog-'brillian' macam begini :

Peter Jackson ( PJ ) : " eh, bikin film film yuk...gue punya cerita nih.."
temen PJ : " ceritanya apaan..? "
PJ : ( sambil nyengir ) " ceritanya tentang Alien yang menginvasi kota Kaihoro buat ngejadiin daging manusia sebagai bisnis fast-food di planet mereka..terus ntar elu jadi agen khusus yang ngelawan mereka..dan gue jadi...oooh, gue selalu pengen jadi kaya 'Ash' di Evil Dead ..gimana keren ga..??"

krik..krik..krikk....sunyi senyap, semuanya menatap Jackson dengan terharu.

Di Indonesia, dimana aktifitas membuat film masih dianggap sebagai aktifitas mewah nan menghamburkan uang, ide 'cemerlang' kaya gitu biasanya hilang begitu saja digilas kenyataan

Namun Peter Jackson muda merasa idenya sudah terlalu lama mengendap dalam benak dan memaksa untuk dikeluarkan walau keterbatasan menghadang. Sebelum 'Bad Taste', ketika berusia 15 tahun, PJ juga sudah membuat film pendek 20 menit 'The Valley' sebuah film fantasi petualangan tentang cyclops yang dibuat pake teknik stop-motion bareng ama temen-temen deket nya ( Pete O' Herne ama Ken Hammon ) FYI, 2 orang sohib PJ ini juga maen di Bad Taste.


Maka dengan semangat DIY ( Do It Yourself ) yang luar biasa PJ nekad memproduksi sendiri 'Bad Taste', berbekal budget pribadi sebesar $1000 ( di akhir produksi, New Zealand Film Commission akhirnya tergerak untuk memberikan sejumlah dana bantuan ), dia lalu mengkasting teman-temannya sendiri yang cukup gila untuk bersedia maen tanpa di bayar, lalu secara militan mengambil gambar di setiap akhir pekan atau hari libur. Jadwal suting yang sekarep dewek ini akhirnya membuat film berdurasi 91 menit ini rampung dalam jangka waktu 4 tahun!! Lamanya proses produksi ini juga membuat beberapa pemaen mengalami perubahan model rambut..wkwkw coba deh perhatiin.

Untuk meminimalisasi budget, PJ juga mengerjakan make up/efek sendiri, membuat crane untuk steady-cam sendiri ( sementara shootnya cuma pake camera 16mm ) dia juga yang membuat topeng alien sendiri dari bahan karet, bahkan dia memerankan 2 karakter sekaligus dalam film ini.

 Yang pertama, dia berperan sebagai Derek pahlawan-gokil kita yang dalam film ini diceritain terjatuh dari bukit dan mengalami pecah kepala, lalu sepanjang film dia terlihat sibuk mengikat batok kepalanya supaya otaknya nggak berceceran ( whatthefuck!? ), dengan kondisi kaya gitu, Derek tanpa gentar terus memburu para Alien dengan gergaji mesin " I'm Derek. Derek's Don't Run! " , woo-hooo walaupun amatiran, rasanya gue rela ngasih standing applause 5 menit buat effort PJ atas perannya disini. Liat aksi Derek di video ini: hehe





Satu karakter lagi yang dia perankan adalah, perhatiin adegan ketika Derek memaku kaki salah satu alien yang terikat di tebing. Yap, anda benar! Alien jenggotan yang tergantung ditebing itu juga diperankan oleh Peter Jackson sendiri!!
Jadi Derek yang diperanin oleh PJ, memaku kaki Alien yang juga diperanin oleh dirinya sendiri hahaha
lewat trik kamera yang raw tapi cerdik gue sampe nggak menyadari kalo dua orang yang tampil di layar adalah : Peter Jackson!

Dan percaya atau tidak, film ini bahkan dikerjakan tanpa script!

Haha, nonton 'Bad Taste' itu rasanya kaya membaca zine fotokopian bikinan temen sendiri yang layoutnya ngaco, murahan dan terlihat dekil, tapi dijamin 100% FUN untuk dibaca karena dikerjakan dengan jujur, apa adanya, bebas, tulus dan penuh passion. Gue jadi inget ngebaca, 'Choking Hazard', 'P.H.O.D', 'Rebelliousickness', 'Pussy Wagon' atau..ehm, 'Thrasher'.


BAD TASTE OR Braindead ?

Nah sekarang, ngomongin Bad Taste kayanya susah kalo ga ngomong Braindead , yang akhirnya selalu mencuatkan pertanyaan : "mana yang lebih keren? "

di Bad Taste, PJ terlihat masih terkesan main-main, kental aroma seneng-senengnya -- liat aja topeng dan bentuk aliennya yang 'anjing-kok-gini-amat-ya?' -- budget yang ultra-low, sementara skil sinematographi minimal juga membuat ' bloopers ' atau kesalahan teknis terlihat jelas disana-sini,

Jadi, buat para fan Peter Jackson yang mengenal dia dari 'kesempurnaan' 'Lord Of The Rings' atau 'Kingkong' , apalagi kamu yang baru saja menyaksikan kepuitisan 'The Lovely Bones', rasanya bakal menangis tak percaya kalau menyadari sutradara pujaannya pernah membuat film semacam 'Bad Taste'! hahaha

Namun walau emang seburuk itu, ide-ide brilliannya sudah sangat jelas terlihat. untuk ukuran ultra low-budget movie kamu akan dibuat tercengang oleh adegan unthinkable-sinting nan megah ketika pesawat Alien yang berbentuk rumah itu perlahan-lahan terbang ke angkasa!, ini adegan yang 20 tahun kemudian kemungkinan menginspirasi 'Zathura' atau 'District 9'. Bahkan, adegan mobil dan kambing yang meledak di Bazooka, walaupun hanya menggunakan efek-murah, 100 kali lipat lebih menghibur, daripada ledakan mega-budget di 'Merah Putih'. Juga jangan lupain, kalo desain kepala kapten Orc di Return Of The King itu inspirasinya dari kepala Alien di film ini. Belum lagi adegan2 komikal-splatter-pe'a-hillarious yang kesebar di tiap scenenya berhasil menjadi sekuen adegan yang tak mudah dilupakan.

itulah makanya gue membayangkan ketika Peter Jackson akhirnya berhasil merampungkan 'Bad Taste', dia berkata sambil mengepalkan tangan :

" sekarang gue tahu gimana cara bikin film! ayo kita bikin lagi yang lebih gila-gilaan!! "

5 tahun kemudian ( setelah 'Meet Tha Feebles' ) , terciptalah 'Braindead' : The Most Entertaining+Disgusting+Gory Horror Movie i Ever Seen ! "


'Braindead' memang terlihat lebih siap dan superior dibanding 'Bad Taste'. Storyline nya lebih dipikirkan ( walaupun tetep aja bodoh wkwkw ), efek/makeup nya lebih halus ( inget perbandingannya ama 'Bad Taste' jangan ama TLOTR haha ), pemaennya aktor beneran yang dibayar ( walaupun gue bakalan tetep merindukan Derek ), dan kerennya dengan budget yang sedikit lebih gede ama skill sinematografi yang mengalami progress, visi dan kegilaan Peter Jackson nggak kendor dan berhasil ditumpahin di film ini, baca : lebih banyak darah ama organ tubuh berterbangan haahha

intinya, Bad Taste dan 'Braindead' sebenernya sama2 keren dan FUN. Dua-duanya keluar dari kepala seorang visioner gila yang sama. Namun, gue tetep harus mengakui kalo Braindead masih unggul 2 poin untuk urusan : hibur-menghibur.

VERDICT :


Kalo kamu nyari film horror yang menyeramkan, menakutkan atau thrilling, Bad Taste bukan judul yang tepat. Ketimbang horror, Bad Taste lebih tepat kalo dilabelin sebagai film komedi-action-scifi-fantasy dengan moment splatter-gore didalamnya.
Bahkan, dengan jelas film ini nampilin beberapa adegan parodi dari beberapa film terkenal sebut saja E.T, Texas Chainsaw Massacre , Evil Dead , Commando sampe Star Wars. Gampangnya, Bad Taste itu mirip film WARKOP DKI versi hardcore. Sebuah genre dimana PJ selalu terlihat brillian!

Haha, so Kalo kamu menikmati Evil Dead , 'Braindead' , atau Redneck Zombies, maka kamu akan menikmati Bad Taste. Tapi, kalo kamu tidak tertarik untuk menontonnya atau bahkan membenci judul-judul diatas, maka nggak usah peduliin film ini. yap, Bad Taste emang seburuk itu. 

Bad Taste is only work for real 'Bad Taste' people.

Lewat review ini, gue cuma pengen ngasih rekomendasi, bahwa kalo kamu mau sedikit mengabaikan 'good-taste' mu, 'Bad Taste' adalah film yang cocok ditonton beramai-ramai untuk sekedar refreshing bersama teman-temanmu ( bahkan keluarga --soalnya orang cenderung masih bisa mentolerir kesadisan dibanding ketelanjangan--) , menontonnya akan membuat harimu yang membosankan menjadi begitu menyenangkan, bahkan untuk beberapa hari kedepan. hehehe

Terakhir, pesan untuk Peter Jackson :
WE WANT DEREK! WE WANT DEREK! AND WE NEED A SEQUEL!!

RATING : 8,5/10
.....................................................................

Terima kasih buat temen gue, IDUB yang udah bersedia ngedownloadin, ngeburningin dan mengirimkan CD film cult-klasik keren ini kealamat gue hehe
Pesen lagi bos!! hahahaha

23 April 2010

LADY TERMINATOR (PEMBALASAN RATU PANTAI SELATAN, US VERSION) (1988)

REVIEWED BY 'Z'.

 “I hate hotdogs” –Ikang Fawzi-

Soalnye invasi film2 horror dari Hollywood belakangan ini keliatan sangat minim dalem kualitas, gue rasa waktunye tiba buat ngerevisi karya monumental dari produk kutub geografis berseberangan yg biasanye kaga pernah gue sentuh: yup! Percaya ngga percaya gue emang lagi ngomongin film Indonesia.

Spesifiknye, sinema-eksploitasi Indonesia. Gue ngga ngomong atas nama orang laen, tapi secara pribadi, gue selalu ngerasa kalo sinema-sampah lokal era 70-80 adalah “warisan budaya bangsa” ini yg paling membanggakan. Ajaibnye dari film2 era itu tuh biarpun semuanye praktis nge-rip-off film luar tertentu, tetep aje hasil akhirnye selalu “Indonesia banget” tau ngga?? Semua pengen kaya film barat, tapi kaga pernah ada yg berhasil. Dan uniknye, itu malah jadi ciri tertentu yg ngga bisa dipararelin ama film produksi luar negeri, secara ngga sengaja justru nyiptain sesuatu yg “punya kite” sendiri. Gampangnye sih, kalo orang Itali punya Giallo, Eropa Timur beken ama porno-snuff mereka, maka Indonesia juga (sempet) punya bentuk khas sinema-genrenye.

Pembalasan Ratu Pantai Selatan tuh film model begitu. Diproduksi taun 1988 & disutradarain ama H. Tjut Djalil (seseorang dengan resume yg keliatan kaya Russ Meyer versi miskin) dengan pseudonym paling absurd yg bisa dipilih ama orang (Jalil Jackson, beda2 tipis ama Mustafa Jackson). Ni film adalah jiplakan-tanpa-rasa-malu-khas-anak-bangsa dari The Terminator yg, justru ngetop di luar negeri berkat keunikan dari, ehmm, “kepribadiannye” sendiri. Ngetop banget malahan sampe die dirilis dalam berbagai versi & judul, dari “Nasty Hunter”, “Shooting Star” ama “Terminator Woman”. Nah, gue bakal ngebahas ini dalem versinye yg paling terkenal sekaligus juga favorit pribadi gue, yaitu “Lady Terminator”. 




Pertama kite ngeliat Yurike Prastica, dalam wardrobe ningrat yg sama ama yg di pake dalam puluhan film”kolosal” produksi Soraya Intercine laennye, berkeringet mendesah sebelon ngebunuh pasangan mesumnye pake sebentuk jurus goyang-pinggul-mematikan tertentu. Abis itu, kite liat doski berkeringet mendesah lebih heboh ama seorang bule, yg selaen pejantan-tangguh, juga punya kemampuan buat nyabut semacem belut-mutan dari vagina & ngetransformasiinnye jadi sebilah keris. Ini bikin Yurike masuk ke mode-PMS, &, dengan iringan gelegar halilintar, bikin sumpah Palapa guna ngebalesin dendam ke cicit buyut si bule itu 100 taun lagi. Kenape harus nunggu 100 taun waktu doski bisa aje ngebunuh si bule saat itu juga gue ngga ngerti, tapi yg pasti doski pergi ke istana Laut Selatan selama penungguan panjangnye itu.

Fast-forward ke era 80-an (dideteksi berdasarkan gaya rambut hair-metal aktris utamanye) waktu kite liat Tania Wilson (Barbara Anne Constable), seorang antropologis mancanegara yg nenteng tas ke negeri kite dalam misi meneliti studi soal legenda Ratu Pantai Selatan. Ini ternyata jadi riset-ilmiah pendek. Diawali dengan make bikini-item di atas yacht, ngerayu kapten kapal yg ngambil keputusan di bawah pengaruh Anker Bir, ama berakhir dengan terlentang ngga berdaya di tempat tidur sementara sejenis belut-mutan (kaya yg kite liat berubah jadi keris) merangsek masuk lewat kemaluan doski! Ternyata praktek berbau fetish ini adalah metode dari Ratu Pantai Selatan buat ngerasukin tubuh orang, sebuah modus-operandi kinky yg bikin gue, buat pertama kali dalem idup ini, ngerasa nyesel gue bukan seekor belut-mutan.      

Abis itu film ini langsung banting-stir dari mitologi-supranatural-lokal ke James Cameron-scifi-ripoff. Perubahan haluan ini bakal selamanye dikenang buat ditandain ama adegan Bo Derek-esque “keluar bugil dari dasar laut” yg ngeduluin adegan serupanye Halle Berry di Die Another Day dalam jarak 14 taun! Adegan ini adalah alesan kenape nama Barbara Anne Constable bakal selamanye ketulis dalam daftar hall of fame pribadi gue, & begitu doski mulai ngebunuhin orang tanpa pandang bulu, mau itu pake uzi ataupun jurus goyang-pinggul-mematikan tertentu (yg jelas doski pelajarin dari Yurike Prastica) ama nabrakin mobil ke kantor polisi di siang bolong, gue ngerasa yakin seyakin-yakinnye kalo doski sebenernye bakalan jadi Terminator asli yg jauh lebih kick-ass daripada Arnie.

“I’m not a woman, I’m an anthropologist” –Barbara Anne Constable-


Begitu sampe bagian ini, makin keliatan kenape ini bakal selalu jadi salah satu film terbaik dalam sejarah jagad perfilman nasional. Tania Wilson yg kerasukan hantu Ratu Pantai Selatan & kini dibungkus pake busana kulit ketat, berhasil ngelacak keberadaan keturunan dari bule bebuyutannye tadi pake bantuan video klip di TV kamar  hotel nomer “1113” yg kesohor itu. Ternyata Sarah Connor..eh, maksud gue “Erica” (Claudia Angelique Rademaker) adalah bintang pop dengan karier yg -mungkin gara2 selera musik masyarakat kite di era itu kelewat buruk- tengah menanjak tajam, Tentunye  nyium jejak dari seorang selebriti itu ngga akan sulit, bahkan buat generasi TVRI sekalipun. 

Jadi dalam waktu singkat Rambowati setengah klenik-setengah cyborg  kite ini pun mulai ngehamburin amunisi senapan otomatis ke segala penjuru. Ngebunuhin sejumlah orang yg sebenernye bukan sasarannye, sementara berduel ama geng-pengawal Erica yg terdiri dari seorang bule mesum, HIM Damsyik sebagai dukun ilmu “putih”, Ikang Fawzi bergaya Dirty Harry, ama Adam Stardust bersenjatakan rambut mullet yg bakalan bikin semua penganut D-Beat iri!! Anjir, masa sihhh lo ngga pengen liat ini????

Lady Terminator itu contoh sempurna kejayaan film Indonesia: akting ngaco, dialog super-idiot, sekuen ekyen ridikulus, ama sejumlah aksi mesum yg dieksekusi dengan kesempurnaan pada level produksi film di rosternye Grindhouse. Yup, emang sama sekali ngga berkelas dari sudut pandang manapun, tapi itu soalnye ini emang ngga pernah dibikin dengan niat buat jadi berkelas.

Die jujur ama jatidirinye sebagai film kancut & semua adegan kopian-xerox dari The Terminator-nye ada pada anak tangga paling bawah dari panggung sinema-campy sampe ia nyiptain sendiri standarnye buat arti kata “kualitas”. 

Jujur sejujur-jujurnye, segalanye dalem film ini dari awal sampe abis itu kaga ada yg gagal buat ngehibur.

Semuanye, mulai dari kastilnye Ratu Pantai Selatan, gaya rambutnye Tania Wilson, orang mabok yg ngencingin mukenye sendiri di pantai, mobil-mobilan ama helikopter maenan yg diledakin, sampe footage yg diulang-ulang buat ngisi durasi, semuanye selalu bisa antara bikin lo senyum, cekikan apa ketawa terpingkal-pingkal.

Ini adalah sebuah tontonan langka di mana praktis lo ngga akan pernah nemuin secuil pun momen ngebosenin di dalemnye.

Rasanye kaya ngabisin waktu ama sohib2 pecundang lo: selalu ada sesuatu yg terjadi & “sesuatu” itu hampir dipastiin bakalan terlalu…ehmm, “unik” buat dilewatin gitu aja. Kecuali kalo lo ngarepin sesuatu yg serius, tapi kalo lo nyari hal serius di film kaya gini...ya berarti lo ngga mungkin serius.    

Ngukur ini dari entertaiment-value sebuah jiplakan terang-terangan, Lady Terminator itu semacem menangin jekpot di kasino Las Vegas. “Jalil Jackson” ngga ngelakuin apapun setengah-setengah. Kalo Lady T pengen nembak orang, maka doski bakalan ngeberondongin 30 peluru ke orang yg bersangkutan, itu pun kadang doski masih ngerasa perlu buat nendang selangkangannye, mungkin demi kepuasan-dominatrix tertentu. Ngga cukup bikin doski berhadapan ama personel dari satu kantor polisi, maka panser ama helikopter pun direkrut buat ngadepin Rambowati kite ini. Yg sebenernye bisa dimengerti mengingat doski keliatannye bukan cuma megang cheat buat punya stok amunisi tanpa-batas doang, tapi juga dilengkapin ama feature build-in khas iblis lokal 80-an: sepasang mata yg bisa nembakin sinar laser!!




Jadi panser ama helikopter kayanye  suatu hal yg wajar buat nyeimbangin kekuatan mengingat itu adalah bentuk2 mesin tempur modern pada masanye... tapi bahkan itupun ngga bisa nembakin sinar laser!

Perlu disebutin juga  kalo yg gue liat ini adalah versi US-nye, ruginye nonton dalem versi ini tuh lo justru ngga bisa nikmatin dialog2 tololnye dalam Bahasa Indonesia. Sebagai orang yg sehari-hari idup pake Bahasa Indonesia, dubbing Inggrisnye bikin gue jadi pengen denger apaan yg diomongin orang2 ini kalo pake bahasa persatuan kite. Sumpah itu pasti keren banget! Tapi harus gue akuin kalo dialog Inggris di sini luar biasa spektakuler juga. Katanye sih ini emang dibikin dengan skrip asli bahasa Inggris, yg boleh jadi adalah sebuah eksplanasi logis kenapa bisa kedengeran separah ini. Tapi naskah ancur di sini justru ngasih poin ganda buat ketololan filmnye & itu bikin kualitas“hiburan”-nye dapet boosting roket ke tingkat absursitas sureal. Ada adegan pas di kamar mayat, waktu 3 protagonis kite ngebahas 3 mayat pria yg mati mengenaskan dengan alat kelamin kemutilasi. Dalam satu situasi yg bakal memancing simpati bahkan bagi seorang anggota senior CSI sekalipun, terjadilah pertukaran dialog semacem ini:
Cop 1: “How could someone do anything like this?”.
Cop 3: “It’s really quite easy…first you take their pants off”.
Semuanye ketawa lepas dalem satu ruangan yg isinye korban pembunuhan sadis bejejer 3 biji sementara si penjaga kamar mayat asik melahap mi goreng, ckckck, dan lo heran kenapa film ini bisa jadi klasik…


Banyak orang bakalan dengan gampang ngecap Lady Terminator sebagai tontonan “guilty pleasure”, tapi ngga. Gue menolak buat masuk ke kategori itu soalnye gue ngga pernah sekalipun perlu ngerasa “guilty” buat nikmatin sesuatu kaya gini. 

Ngga ada yg salah kok dari ngakuin sebuah film itu keren dari level kualitas subjektifnye sendiri & Lady Terminator –ama semua variasi judulnye- adalah tontonan  top-nocht  yg gue ngga akan pernah malu buat akuin kalo gue suka. Kenape gue harus ngerasa "guilty" nonton ini?  Die lebih ekplosif dari semua film Indonesia “modern” disatuin, die ngga pernah nopengin vulgaritas dari semua aspek murahan yg die ekspos, die ngasih semua yg kite ekspektasiin dari jenis tontonan kaya gini. Emang ngga lebih, tapi gue juga ngga minta lebih kok.

Kalo lo punya cewe binal seksi nenteng2 senapan mesin sambil sekali-kali berbugil-ria buat intermezzo antar adegan ekyen, terus perlu minta apa lagi sih? Gue bisa nikmatin “pleasure” semacem itu tanpa perasaan “guilty” & Lady Terminator itu 100% tontonan pleasureable,

Ngga setuju? Then...

“Eat it, bitch!!” –Adam Stardust-

rating 8/10

17 April 2010

Otopsi Malpraktek: House of the Devil (VHS)

WRITTEN BY 'Z'

Karena gue yakin orang2 yg punya koneksi internet tu ngga tinggal di goa, kayanye gue ngga perlu lagi ngejelasin apa itu House of the Devil kan? Ni film udah diomongin dimane-mane sebagai throwback horror 80-an yg tanpa kompromi. Dari fashion pemain, setting, sampe kamera 16mm-nye, HOTD bener2 keliatan kaya die emang dibikin dengan Debbie Gibson ngegoyang-goyangin pinggul doski di belakang. Sedemekian anjing-edan 80’snye sampe kudu dirilis dalem bentuk out-of-date VHS & itu dilakuin sebelon versi DVD ama Blu-Raynye dikeluarin. Berapa banyak film modern yg lo tau ngelakuin hal kaya gitu?

Meskipun DVD ama Blu-Ray masih jadi pilihan utama bagi kite2 para konsumen buat kenikmatan menonton, semua orang dengan intelejensia di atas simpanse tau kalo lo pengen ngejer nilai kolektibel, maka lo kejer versi VHS. Bukan cuma soalnye itu sesuai dengan keseluruhan konsep film ini, tapi ya soalnye….ITU VHS!! Perlu gitu dijelasin kenape itu keren? Tapi kalo lo mikir rilisan ini ngga punya poin lebih dari sekedar nilai sentimentil formatnye doang, maka lo mending mikir lagi. Soalnye para produsernye bener2 naro effort buat bikin produk ini jadi sesuatu yg klasik.

Pertama, die tersedia dalem boks clam-shell yg oversize, soalnye ini pengen ngikutin tradisi video horror keren & semua video horror keren selalu pake boks clam-shell oversize. Mungkin bagi kalian yg lahir di bawah taun 90-an kudu dijelasin kalo ada satu masa dulu waktu kaset video (juga kaset audio) dibungkus pake plastik putih gede yg disebut “clam-shell”. Boks2 ngga praktis ini ada dalam berbagai ukuran & kebanyakan film horror murahan masa lalu milih yg paling gede (oversize) cuman semata-mata supaya die bisa lebih “keliatan” pas lagi dipajang di rak. Yaya gue tau, itu trik-marketing tolol emang, tapi di sebuah genre di mana ketololan adalah sesuatu yg legendaris, itu malah bikin die jadi klasik & dengan berada sesuai pada jalur tradisi klasik, maka video ini udah punya poin-kolektibel pertama.

 Sampul depannye sendiri make gambar dari poster resminye, bikinan Nick Kellerhouse & Erik Buckham dari Kellerhouse Inc. pake goresan hi-tech tablet Wacom. Sebenernye itu sedikit menghianati konsep retro sih, tapi terbukti hasilnye emang top-notch kok. Kaya bisa lo liat sendiri, praktis ngga ada garis2 vector Wacom nongolin idung jeleknye di situ. Malahan die ngereplika bentuk poster2 film 70-an bergaya lukisan tangan dengan sempurna, tau kan? Yg (bagi kite2 yg lebih ehm, “berumur”) dulu biasa liat di bioskop2 kelas kambing muter bokep2 lokal? Keren gimane sampul ini, biarpun stylish, tetep bisa mertahanin imej buat keliatan “cheap”. Keliatan murahan itu ngga dosa, malah, itu adalah alesan kenape sekian banyak film dari subgenre ini bisa dapet status “kult”. Inget kalo karier Mario Bava praktis melegenda berkat imej2 kaya gitu.

Baru dari tampak depannye aje video ini udah keliatan lebih vintage daripada semua koleksi baju di lemarinye Gwen Winarno, tambahin stiker “new realease” itu di situ & yg lo butuh tinggal tanda tangan dari Ti West ama beberapa anggota cast buat dengan bangga mamerin ini di forum Deadpits.

Sekarang gue bakal make logika sederhana hukum perbandingan.


Yg di sebelah kanan itu videonye Doctor Gore, film idiot keluaran taun ’73. Sekarang, film 2000-an mana lagi yg bisa berdiri segitu gagah di sebelah kirinye? Liat aje mereka, kaya Chucky ama Jennifer Tilly! Sekedar informasi tambahan: lecek2 di sampul kanan itu murni disebabin ama pengaruh waktu, cuaca, iklim & kondisi pojokan lemari lembab tempat nyokap nyimpen tumpukan album foto keluarga doski. Sementara lecek2 di sampul yg kiri itu tersedia dalem bentuk vector file Illustrator yg bisa lo donlod secara gratis. Nah kalo gue ngga ngomong gitu, bisa ngga lo ngebedainnye?

Sampul belakangnye juga old-school, praktis dikuasain ama teks. Ngga ada eye-candy, ngga ada bullshit. Banyak video kelas-B masa lalu make lay-out gini buat sampul belakang, kemungkinan soalnye orang yg ngerjainnye terlalu males buat bikinnye dengan bener2 niat, toh kaga ada yg liat. Lagian, gue ngga kebayang berapa seseorang dibayar buat ngedesain sampul video di jaman itu. Plus, kalo gambar ini bisa lo zoom, lo bakal liat kalo yg ketulis di situ tuh bukan sebuah sinopsis, tapi praktis keseluruhan storyline film ini (minus spoiler endingnye aje)! Ngebuktiin kalo script sebuah film horror itu ternyata emang ngga perlu lebih panjang dari ukuran sampul belakang satu casing video.

Kalo lo ngga percaya, silakan liat sendiri kalo kover videonye Death Dream, filmnye Bob Clark (sutradaranye Black Christmas yg asli) taun 1972, yg ternyata, make trik yg persis sama. Itu baru namanye “true”!!


Tapi pastinye, kebanggaan sejati para kolektor tuh adalah gimane barangnye keliatan kalo ditaro berjejer atawa numpuk bareng ama kumpulan permatanye yg laen!! Itu ujian utamanye. Jadi kaya apaan bagian pinggirnye?? Ternyata di sini ini para desainernye ngeluarin jurus pamungkas mereka, soalnye di bagian ini nih logonye Gorgon Video dipajang dengan semua kebanggaan bloody-glorynye. Nah, kalo lo ngga tau apaan itu Gorgon Video, mending secepetnye lo Googling deh. Jaman dulu kite2 kaga kenal apaan itu internet, kite bahkan ngga punya telpon selular & kite tau Gorgon Video. Sekarang dengan teknologi wifi tersedia dimane-mane & semua anak kuliahan yg gue liat selalu punya laptop, asli lo ngga punya alesan buat ngga tau apaan itu Gorgon Video!!


Poin keseluruhan nih. Sekeren apa VHS ini? Hmmm, kalo ada orang ngomong die punya VHS aslinye Monster Squad, sekeren apa itu kira2? Ya sekeren itu lah. Mungkin ngga sekarang, tapi ke depannye VHS House of the Devil bakalan jadi salah satu collector’s item memorabel horror-modern yg, secara estetis maupun sentimentalis, nunjukin homage pada tradisi dengan cara2 keren. Bahkan kalo kenyataanye lebih dari separo penduduk dunia udah ngga ada lagi yg punya VHS, tapi dengan sebuah produk yg emang sejati dibikin buat para fans gini, Ti West udah secara sukses nebus semua dosanye di  Cabin Fever 2


 rating: 10/10

13 April 2010

AFTERDARK HORRORFEST 4 : DREAD, THE REEDS, LAKE MUNGO, THE FINAL

REVIEWED BY 'R'.

Beberapa minggu belakangan ini, lapak2 DVD di penjuru Jakarta di penuhi film2 Horror dengan embel2 'Afterdark Horrorfest' di kovernya, Film2 ini bersanding ama rilisan2 dari ' Grindhouse' dan satu lagi, 'Master Of Horror'. namun keduanya kayanya kalah massif ama serbuan 'Afterdark horrorfest' ini.

Kita cari tau,
Afterdark Horrofest (  a.k.a " 8 Films To Die for" ) adalah festival film horror tahunan yang menampilkan 8 film horror lowbudget - independent dr berbagai negara, dengan sesekali menyelipkan satu film 'bonus' didalamnya. Mungkin kaya semodel INAFFF di Jakarta kali ya (?). Format DVD film2 yang tampil di festifal ini kemudian dirilis dan langsung didstribusiin oleh perusahaan distributor yang berada dibalik semua ini :  'After Dark Films'.

Afterdark Horrofest ( ADHF ) sendiri pertama kali diselenggarakan tahun 2006 di bioskop2 Amerika.
kalo kamu pernah nonton 'Penny Dreadful' atau The Tripper, itu adalah 2 film ( dari 8 ) yang tampil di ADHF pertama tahun 2006 yang didistribusiin format DVD nya pada tahun 2007.  Tahun 2008, 'Frontiere's' sempet mendapat banyak pujian, Tahun  2009   'Autopsy' , 'Perkins 14', ama 'The Butterfly Effect 3 : Revelations' mungkin bisa dijadiin contoh familiar film2 lulusan 'Afterdark Horrorfest' yang rilis tahun itu

Nah temen-temen, Awal tahun ini ( 2010 ), ADHF kembali menyelanggarakan hajatannya ( yang ke 4 ) dan diselenggarakan sejak akhir Januari sampe awal Februari kemaren di bioskop2 Amerika. Setelah turun dari bioskop, mulailah DVD nya menyerbu penjuru dunia, masuk ke Glodok, ditumpuk2 bersama ribuan keping film lain di dalam kardus-kardus butut, lalu seorang pengecer DVD kecil2an bermarga Batak membeli kardus tersebut, dan siang harinya film2 ini sudah mejeng di salah satu rak film berlabel ' HORROR' di kios DVD nya di daerah Pejaten. :D



Hehe Oke, untuk tahun ini ADHF ngasih kita :
DREAD,  THE FINAL, THE GRAVES, KILL THEORY, LAKE MUNGO, THE REEDS, HIDDEN dan ZMD : ZOMBIES OF MASS DESTRUCTION.
Dari 8 film itu , 4 film akan gue review di lain waktu yaitu : KILL THEORY, THE GRAVES, dan ZMD : ZOMBIES OF MASS DESTRUCTION.

Nah, 4 film lainnya akan gue review secara singkat sekarang :)

.....................

DREAD

Film yang diangkat dari cerita pendek karya Clive Barker ini nyeritain tentang 2 mahasiswa, Steve ( Jackson Rathbone ) dan Quaid ( Shaun Evans ) yang --demi memenuhi tugas kuliah-- sepakat bekerja sama membuat sebuah film dokumenter. Dan mereka rupanya sama-sama tertarik untuk membuat riset tentang sebuah subjek : ketakutan terdalam manusia.

Duo ini lalu mengajak beberapa teman lain, kemudian mengundang para sukarelawan untuk menceritakan 'ketakutan terdalam' mereka, menginterviewnya dan merekam semuanya dengan kamera video. Tapi ga usah khawatir, nih film bukan model 'handheld-camera'/mockumentary kok :D

Steve hanya menganggap proyek ini sebagai tugas kuliah, namun tidak dengan Quaid. Dia justru terlihat semakin serius dan terobsesi.
tanpa Steve sadari, ternyata Quaid menyimpan trauma masa lalu. Ia menyaksikan sendiri, keluarganya dibantai oleh seorang penjahat berkapak. Dan memori mengerikan itu selalu menghantuinya.  So, riset tentang ketakutan/trauma ini sebenarnya adalah upaya Quaid demi mengenal dan menyembuhkan traumanya sendiri. Quaid semakin tak terbendung, dia sangat antusias mengetahui ketakutan2 orang lain, risetnya lalu berkembang ke level extreme dan pada akhirnya dia sampai pada suatu kesimpulan :  ia terbebas dari trauma masa lalu ketika mengenal dan merealisasikan ketakutan itu pada orang lain.


Yah, ini emang lebih ke thriller-psikologikal, jadi jangan ketipu ama covernya yang tipikal slasher-torture. Pace berjalan lambat dan sangat berpotensi jadi membosankan. Namun untuk seorang sutrada debutan, Anthony DiBlasi mraktekin ilmu sinematografinya dengan bener. 'Dread' itu bukan tipikal horror jeritan-bacokan-darah-dan payudara, walaupun emang ada sih disini adegan cewe striptease-bugil yang tubuhnya kemudian terbelah-belah, tapi tetep aja

'Dread' menuntut sedikit konsentrasi dari audiensenya buat nyampe ke apa yang pengen sutradaranya sampein. 

Jadi, kalo kamu mampu ngasih itu dan dengan sukarela mau melarutkan diri ke dalam karakter2 dalam film ini, ya udah mungkin film ini buat kamu.

5/10

THE REEDS

6 orang pemuda-pemudi London berfikir, berperahu di rawa penuh ilalang yang sunyi akan sangat menyenangkan untuk mengisi weekend.
Syukurlah memang tidak ada buaya di situ,  jadi mereka masih bisa bersenang-senang diatas perahu "Corsair Star' yang mereka sewa.
Namun akhirnya mereka mulai menyadari ada sesuatu yang bergerak di balik ilalang2 itu. Terror semakin mencekam ketika perahu mengalami kecelakaan yang nyebabin salah seorang diantara mereka sekarat.  Sejak saat itu kejadian demi kejadian misterius terjadi dan membawa mereka ke sebuah pengalaman horror yang tak terbayangkan.

Pada awalnya, film menunjukkan tanda-tanda kalo 'The Reeds' adalah film yang menarik, gue berharap sosok misterius yang bergerak di balik ilalang itu adalah sejenis monster rawa berkepala dua, bertanduk, dengan taring dan cakar sepanjang 6 meter. Namun harapan itu tidak terkabul, tak ada monster atau psikopat, yang ada malah adegan2 sok twist yang sayangnya nggak menarik buat gue peduliin. Kalo kamu inget akan sebuah film ketika menonton 'The Reeds', pastilah itu 'Triangle' , itu film mistery-psikologikal paling keren yang gue tonton tahun lalu. Nah, The Reeds mempunyai elemen-plot seperti apa yang ada di Triangle, namun jauuuh banget lah kalo dibandingin ama film itu, padahal setting rawa penuh ilalang sebenernya punya potensi buat ngasilin atmosfir sunyi nan mencekam, namun mereka ngancurin kesempatan itu dengan plot sok rumit yang konyol dan mentah.
The Reeds adalah film yang 'try-hard' buat keliatan cerdas, namun hasilnya buat gue cuma satu kata : FAIL!.

pada akhirnya, satu hal yang paling enjoyable ketika menonton film ini adalah ketika ngeliat Chris ( salah seorang diantara mereka ), perutnya tertusuk kayu perahu sampe tembus kaya sate hahahaha

3/10

LAKE MUNGO

Yang satu ini datangnya dari Australia.
Lake Mungo mengisahkan tentang keluarga Palmer yang tengah ditimpa duka karena Alice, puteri mereka ditemukan tewas ketika berenang di danau Mungo.
Namun kemudian kejadian2 aneh mulai terjadi di rumah mereka. Bukan itu saja,  Alice pun muncul dalam bentuk 'penampakan2' di foto atau rekaman video. Menyadari itu, keluarga Palmer segera melakukan penyelidikan untuk mengungkap misteri ini.

Lake Mungo menambah panjang deretan film2 yang digarap dengan style mockumentary alias dokumenter boongan. Yang akan kamu dapetin disini cuman interview-interview, footage video/foto dengan 'penampakan' dibelakangnya, handheld camera dll Jadi buat kamu yang nganggep penampakan sosok samar-samar tak diinginkan  di belakang sebuah foto itu begitu menghibur, real, horror dan menakutkan, mungkin akan dibuat merinding juga ketika nonton film ini. gue? oh tidaaakkkkk! Lake Mungo malah bikin gue inget acara TV 'Unsolved Mysteries' yang dulu pernah tayang di sebuah stasiun televisi, malah gue pikir lebih seru acara TV itu kali. Hehe. Tercatat beberapa kali gue memencet tombol fast-forward saking boringnya, sampai akhirnya tanpa sadar film ternyata udah selesai dan sedang menampilkan credit title hahaha.

Oke, Aktor/aktrisnya terlihat berusaha berakting se-real mungkin, bagus kok, semua daya upaya dikerahkan sang kreator untuk ngeyakinin penonton kalo semua yang diceritain disini adalah kejadian nyata...usaha ini juga mungkin akan membuat sebagian orang terkesan.

Gue nggak bilang film ini jelek, tapi ini jelas model film yang nggak pengen gue tonton. Damn! gue ketipu lagi ama covernya.

walau gitu, gue masih pengen ngerekomendasiin film ini buat kamu yang nganggep 'Paranormal Activity' itu menakutkan.

2/10

THE FINAL

"The Final' nyeritain sekelompok siswa pecundang di sebuah highschool yang sering kali menjadi  korban Bully pelajar laen yang lebih kuat atau populer. Gak tahan dengan perlakuan itu, 'Loser-United' ini kemudian berencana melakukan pembalasan.
" gak ada cara lain yang lebih baik untuk memanfaatkan kecintaan kita akan film Horror, selain mempraktekannya buat mereka ". Gitu kata salah seorang diantara mereka. maka dengan memakai outfit horror-idol masing2, geng-pecundang-penuh-dendam ini membuat pesta siswa populer menjadi penuh jeritan dan darah.

The Final adalah satu dari sekian banyak film yang mengangkat tema Bully dan balas dendam.
Beberapa hari sebelum nonton film ini, gue nonton 'State's Evidence', itu film drama-psikologi yang didalemnya nyelipin juga adegan Bully dan bales dendamnya yang meledak-ledak. Kalo film drama aja begitu eksplosif, maka gue berharap lebih pada The Final.
seenggaknya tentu menarik ngeliat para Loser-Horror-freak ini mraktekin 'ilmu-ilmu' yang didapetnya dari nonton film horror. Tapi, sekali lagi gue kecewa..walaupun  diawalnya keliatan menarik, namun semakin ketengah gue justru semakin kehilangan interest.


Film  terlalu cepat masuk ke scene dimana para bully ini mendapatkan balasannya dan kurang mengeksploitasi ke brengsekan mereka buat ngebikin penonton jadi tambah nikmat ketika ngeliat mereka disiksa :D bicara tentang siksa-menyiksa, film ini pun cuma ngasih kita gory-scene dalam level minimal. Kita udah ngeliat otopsi eksplisit di SAW 4, mata di las dalam Hostel, dan film ini cuman ngasih adegan jari yang dipotong!  itu ditambah ama akting beberapa aktor/artisnya yang keliatan berlebihan seakan-akan mereka sedang berusaha untuk mendapat Oscar.
Dan yang paling nyebelin dari semuanya itu ketika diceritain beberapa anggota tim-balas-dendam ini mulai mengalami dilema-moral atas apa yang mereka lakukan!
Yaelaahh..ngapain bales dendam kalo masih pada labil??
Bales dendam itu seharusnya seperti apa yang dilakukan Bride dalam Kill Bill, ato Charles Bronson dalam Death Wish..tanpa ampun! 

not impressed lah nih film, akan dengan mudah gue lupain. walau gitu, kita masih bisa ngeliat seorang cewe yang memakai kostum Asami menirukan aksinya dalam film 'Audition' sambil mengucapkan kalimat legendaris itu : " kiri kiri kiri kiri " gokil!

4/10

................................................

Nah itu dia, review singkat dari 4 film rilisan ADHF yang sangat mudah kita dapati di lapak2 DVD di jakarta saat ini. 4 film lainnya akan gue review di lain waktu :D

Overall, ADHF yang mempunyai slogan " the future of horror" keliatan emang sedang mencari bentuk2 baru / terobosan untuk genre Horror di masa datang. Cuman sayangnya -- dari 4 film diatas-- dapat gue simpulin, kalo mereka terlalu berusaha keras untuk itu ampe ngelupain gimana ngebuat genre Horror tetep FUN!

Yah, Semoga apa yang gue tulis disini salah, dan di 4 film lain ADHF 4 ini gue akan nemuin satuuuuuuuu aja yang bener-bener bikin kita kaya naik Roller Coaster : Scary + High Tension + Disturbing + Thrilling + Rock N Roll + Bad-ass = FUN!!!

09 April 2010

THE FOURTH KIND ( 2009 )

 REVIEWED BY 'Z.

The Fourth Kind adalah film paling annoying yg gue tonton sejak Death Proof.

Waktu seorang sutradara yg namanye susah diinget bikin film dengan dibintangin ama aktris yg namanye susah diinget, apa hasilnye? Sebuah film yg sama sekali ngga perlu buat diinget!!

................................................... 

Kite mulai aje, pencet play, abis logo2 sponsor berkibar, Milla Jo-Whatever langsung nongol ke depan kamera, ngomong “hei, gue Milla Jo-blablabla, aktris, mantan model, juga kadang2 penyanyi, soalnye gue mantan model & bodi ama muke model gue ngejamin kalo gue bisa jadi apapun yg gue pengen di dunia showbiz…” terus meluncurlah doski ke monolog soal “what you see will be incredibly disturbing”, “based on actual footage’, “yadda-yadda” ama segala janji surga kaya doi adalah anggota tim kampanye sutradaranye buat jadi caleg (perlu diinget kalo bagian ini aja udah jadi annoying waktu doski mulai bilang “I’ll be playing Dr. Abigail Tyler”, hah? Yeah, ok….so? Sapa itu Abigail Tyler?).  Terus kite masuk ke shot-helikopter (satu dari sekian puluh di film ini) dari lanskap Nome, Alaska (yg ngga tau kenape keliatan sangat Eropa Timur), tempat di mana si “Dr. Abby Tyler” tadi punya rencana buat buka praktek sebagai psikiater, sambil sesekali meneror dua anaknye yg masih ingusan dengan segala obsesi aneh doski pada makhluk hidup dari planet laen.

Nah, kalo lo bertanya-tanya, “ngapain seorang psikiater milih buat praktek di tempat kaya Nome, Alaska?”, maka pertanyaan itu bisa gue jawab: soalnye doski punya misi pribadi buat menyingkap tabir misteri seputar kematian suaminye. Pertanyaan yg NGGA BISA gue jawab adalah: kenape itu sampe jadi misteri buat doski? Semua orang laen keliatannye tau persis kenape suaminye mati, tapi ngga Abby Tyler, doski sangat berkomitmen buat mengusut kasus ini sampe tuntas & kecurigaannye jatuh pada penampakan seekor burung hantu yg mengganggu kenyamanan tidur para penduduk di kota kecil itu. Karena sebuah alesan tertentu, doski yakin burung hantu adalah sesuatu yg punya hubungan ama alien…

Di sinilah film ini mulai terjun bebas menuju lobang ketololan yg ngga berujung. Jadi Dr. Tyler mraktekin metode hipnosis kepada sejumlah orang, & mereka mulai ngejerit-jerit histeris, loncat kesana-kemari, ama ngerusakin perabot. 


 Jelas ada yg salah kan di situ? Terus apa yg dilakuin jagoan kite ini? Doski kembali mraktekin metode hypnosis! Menutup mata dari kenyataan kalo yg sebelonnye berakhir dengan kacau. Maka sesi berikutnye pun berujung pada seseorang pulang buat bunuh diri. Oiye sebelonnye die sempet ngebunuh semua anggota keluarganye dulu. Di tempat2 laen di dunia, itu udah cukup buat bikin ijin praktek seseorang dicabut, tapi ngga di Nome, Alaska dong! Di kota kecil nan damai ini, meskipun lo udah jelas2 ngebahayain keselamatan orang2 yg ada di sekitar lo, pemegang otoritas utamanye: “actor Will Patton as Sherrif August” (yup, itu asli ditulis di layar) cuman ngasih komentar2 sinis doang, praktis sama sekali ngga manfaatin kekuasaan legalnye buat ngalangin Dr. Tyler dari ngelakuin hal2 absurd yg cenderung dilakuin ama orang2 dengan gangguan mental, kaya ngubungin segala-galanye ama alien, bikin stress anak-anaknye sendiri, ama dengerin alien ngomong dalam bahasa Sumeria kuno (karena, you know, “alien kalo ngomong pake bahasa Sumeria kuno”). 


Film ini terus merangkak ke arah menyedihkan seiring dengan karakter Milla Jo yg juga keliatan makin menyedihkan. Kalo gue punya setitik simpati ama karakternye, maka itu udah ilang ngga berbekas pas gue ngeliat doski menangis demi belas kasihan buat kesekian kalinye, & begitu doi lagi2 ngelakuin hal yg berdampak pada makin sulitnye idup orang laen, gue ngga abis pikir kenape Sherrif kota ini ngga secepetnye naro doski dalem sel. Lama2 gue ngerasa kalo gue cuman buang2 waktu ngeliatin ibu2 gila mraktekin segala aspek kegilaannye tanpa kontrol, sambil terus secara konstan dihujanin propaganda kalo “semua ini kejadian nyata” lewat cara2 yg luar biasa annoying. Jadi gue bikin kopi, dengan sepercik harapan bakal balik ke depan tv buat ngeliat sebuah klimaks yg layak.

Dan klimaksnye adalah…ngga ada apa2. Nihil. Nada. Film ini ya abis aja. Emang ada teks epilogue yg bakalan masuk Guinness Book of Records sebagai yg terlama dalam sejarah, tapi selaen itu mah hambar. Ngga pernah jelas kalo semua ini emang kejadian atau cuman eksis di kepala Abby Tyler doang (yg keliatannye sih emang ngga stabil). Apa emang doski diculik terus dipulangin? Kalo iye kenapa? Apa yg terjadi ama anaknye? Gue ngga tau & asli sama sekali ngga peduli. 

Film ini terlalu sibuk berusaha ngejual gimmick “kisah nyata”nye sampe sutradara Olutande O-Whatever lupa buat bikin jalan cerita, atau eksyen, atau tensi, atau jump-scare, atau Bruce Campbell, atau Suicide Girls, atau apapun lah biar sampah ini jadi bisa ditonton! 

Seolah-olah kite diminta buat nolerir sebuah film annoying yg ngga bisa dinikmatin cuman gara2 “kejadian yg ada di dalemnye bener2 terjadi”. Olutande praktis ngomong ke kita “hey, film ini emang butut, tapi ini kejadian nyata!!”, well, buat kami para penonton umum, yg keitung cuman film lo butut doang. Masalah ini beneran apa ngga mah cuma bakalan ada segelintir orang yg ngurusin.

Selaen dari plot achterlijk & karakter2 yg bertindak tidak logis. The Fourth Kind bakalan bikin idup lo pas nontonnye jadi makin sengsara  dengan konsep “reka-ulang” mereka. Jadi gini nih, film ini sebenernye bukan “film” gitu kaya film2 laennye, tapi reka-ulang dari -yup ini lagi nih- kejadian nyata yg terjadi dulu. Demi ngedukung konsep fantastis itu, sang sutradara siap menempuh langkah ekstrim dengan cara ngebandingin 2 versi footage: versi dramatisasi Hollywood dengan versi "rekaman-asli", langsung barengan via split-screen! Jadi intinye lo kudu liat 2 biji adegan tolol yg sama, dari 2 aktor ngomongin hal ngebosenin yg sama sambil ngelakuin satu hal non-atraktif yg sama. Hal ini ditambah fakta kalo “footage-asli” yg disebutin diatas adalah jelas palsu,
(Karena:
a) Lo google di internet, atau
b) Lo sekedar liat aja & cukup waras buat ngambil kesimpulan itu sendiri.)
bikin semua eksperimen tadi jadi sesuatu yg pointless, cenderung dungu malahan. Milla Jo-Whatever mungkin tampil dengan pesona drama-queen paling menyebalkan doski, tapi seengganye doi mantan model yg enak diliat. Sementara “Abby Tyler” versi "asli" diperanin ama aktris kualitas Jenny Jones Show, yg idenye dari “berakting” adalah ngebaca...script...dengan...sangat…sangat…lamban…semodel…beginilah…kira…kira…

Ok, sejujurnye, gue ngga punya masalah ama trik-penipuan di film, pada dasarnye semuanye emang penipuan. Kalo para produser film ini pengen pura2 nunjukin kite sebuah“rekaman asli” ya terserah mereka lah. Masalah gue tuh 'The Fourth Kind' ngga punya apapun buat ditawarin selaen gimmick “asli” mereka, segala hal laen di dalemnye berantakan, ngga menarik, sama ngebosenin. 

Kaya sebagian film horror lokal, mereka pengen bikin cerita hantu jadi nakutin semata-mata dengan sekuat tenaga ngeyakinin penonton kalo hantunye itu emang-asli-sumpah-ada-beneran. Udah. Itu doang. Semua effortnye ditaro di situ. Kecuali mungkin ngasih score DU-DUNG DU-DUNGG tipikal, mereka ngga ngelakuin usaha laen. Kalo sebuah film bahkan ngga berusaha ngehibur penontonnye, terus sebenernye fungsi die apaan??

Dan di atas semua itu, mana pula alien-nye? The Fouth Kind adalah film yg ngegembar-gemborin soal punya dokumentasi bukti otentik dari keberadaan alien tanpa pernah sekalipun nunjukin alien di dalemnye! Mereka malahan sibuk zoom-in zoo-out gambar burung hantu. Kaset kusut, bayangan di ujung kamera yg blur, ama footage handycam yg jelas2 adalah rip-off dari The Exorcist bukanlah bukti keberadaan alien. Sutradara Olutande O-Whatever nongol di depan kamera berpura-pura ada dalam talk-show acara kampus juga bukan bukti keberadaan alien. Gue ngga peduli ama bukti otentik uka-uka, gue mau alien gue keren anjiss!!

Sapa di sini yg mau ngeliat alien bad-ass kaya yg dirancang H.R Giger buat filmnye Ridley Scott??

Sekarang, sapa di sini yg mau liat seorang sutradara punya peran sebagai diri sendiri, dalem filmnye sendiri, bikin wawancara fiksi ama seorang aktris yg die cast di konsernye Grateful Dead??

Yup, kaya yg udah gue sangka.

RATING

Image and video hosting by TinyPic